Aplikasi 4 Teori Belajar - Behaviorisme, Kognitivisme, Humanisme, dan Konstruktivisme
Aplikasi Teori Behaviorisme
dalam Pembelajaran
Setelah mengkaji tentang teori behaviorisme maka kita ketahui bahwa istilah-istilah seperti hubungan
stimulus-respon, individu atau peserta didik pasif, perilaku sebagai hasil
belajar yang tampak, pembentukan perilaku dengan penataan kondisi secara ketat,
reinforcement (Penguatan) dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting. Teori
ini hingga sekarang masih mendominasi praktek pembelajaran di Indonesia. Hal
ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling
dini, seperti Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah
Menengah, bahkan Perpendidikan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara
pembiasaan (drill) disertai dengan hukuman atau reinforcement masih
sering dilakukan.
Aplikasi teori behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa
hal seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik peserta
didik, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau
peserta didik. Peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pendidik
atau pendidik itulah yang harus dipahami oleh murid.
Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berpikir, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Karena
teori behaviorisme memandang bahwa sesuatu yang ada di dunia nyata telah
tersetruktur rapi dan teratur, maka peserta didik harus dihadapkan pada
aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan
disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih
banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Peserta didik adalah
obyek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar
diri peserta didik.
Tujuan pembelajaran menurut teori behaviorisme ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut
peserta didik untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku tersebut.
Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus dilakukan pendidik
dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Membentuk kebiasaan peserta didik. Jangan berharap kebiasaan itu akan
terbentuk dengan sendirinya.
2. Berhati-hati jangan sampai membentuk kebiasaan yang nantinya harus
diubah, karena mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat
sulit.
3. Jangan membentuk kebiasaan dengan cara yang tidak sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan digunakan.
4. Bentuklah kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan
itu akan digunakan.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil
test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar. Maksudnya, bila
peserta didik menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan pendidik, hal ini
menunjukkan bahwa peserta didik telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan peserta didik secara individual.
Salah satu contoh pembelajaran behaviorisme adalah pembelajaran
terprogram (PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram
ini merupakan pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant
conditioning yang di bawa oleh Skinner. Schunk (2012) menyatakan bahwa
pembelajaran terprogram melibatkan beberapa prinsip pembelajaran. Dalam
pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame secara berurutan
yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil dan dilengkapi
dengan test yang akan direspon oleh peserta didik.
Pada jaman modern ini, aplikasi teori behaviorisme berkembang pada
pembelajaran dengan powerpoint dan multimedia. Pembelajaran
dengan powerpoint, cenderung terjadi satu arah. Materi yang disampaikan
dalam bentuk powerpoint disusun secara rinci dan bagian-bagian kecil. Sementara
itu pada pembelajaran dengan multimedia, peserta didik diharapkan
memiliki pemahaman yang sama dengan pengembang, materi disusun dengan
perencanaan yang rinci dengan urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun
cenderung memiliki satu jawaban benar. Feedback pada pembelajaran dengan
multimedia cenderung diberikan sebagai penguatan dalam setiap soal, hal ini
serupa dengan program pembelajaran yang pernah dikembangkan Skinner (Collin,
2012). Skinner mengembangkan model pembelajaran yang disebut “teaching
machine” yang memberikan feedback kepada peserta didik bila
memberikan jawaban benar dalam setiap tahapan dari pertanyaan test, bukan
sekedar feedback pada akhir test.
Aplikasi Teori Kognitivisme
dalam Pembelajaran
Teori kognitivisme menekankan pada proses
perkembangan peserta didik. Meskipun proses perkembangan peserta didik
mengikuti urutan yang sama, namun kecepatan dan pertumbuhan dalam proses
perkembangan itu berbeda. Dalam proses pembelajaran, perbedaan kecepatan
perkembangan mempengaruhi kecepatan belajar peserta didik, oleh sebab itu
interaksi dalam bentuk diskusi tidak dapat dihindarkan. Pertukaan gagasan
menjadi tanda bagi perkembangan penalaran peserta didik. Perlu disadari bahwa
penalaran bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan secara langsung, namun
perkembangannya dapat disimulasikan.
Hakekat belajar menurut teori kognitivisme dijelaskan sebagai suatu
aktifitas belajar yang berkaian dengan penataan informasi, reorganisasi
perseptual, dan proses internal. Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori
belajar kognitivisme ini sudah banyak digunakan. Dalam merumuskan tujuan
pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran, tidak lagi
mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behaviorisme. Kebebasan
dan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses belajar amat
diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi peserta didik. Sedangkan
kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip- prinsip sebagai berikut:
1. Peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses
berpikirnya.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan
baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit.
3. Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam belajar amat dipentingkan,
karena hanya dengan mengaktifkan peserta didik maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan setruktur kognitivisme yang telah
dimiliki peserta didik.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan
menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar bermakna,
informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki peserta didik. Tugas pendidik adalah menunjukkan hubungan antara apa
yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui peserta didik.
7. Adanya perbedaan
individual pada diri peserta didik perlu diperhatiakan, karena faktor ini
sangat mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik. Perbedaan tersebut
misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal, dan
sebagainya.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwasanya dalam teori belajar yang
dikembangkan oleh bruner melalui 3 tahap, yaitu tahap enaktif, tahap ikonik dan
tahap simbolik. Ketiga tahapan ini dilakukan pada kegiatan inti pembelajaran.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2014) menerapan teori Bruner
untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran simetri lipat,
menerapkan 3 tahapan kegiatan pembelajaran, yaitu tahap awal, tahap inti, dan
tahap akhir. Strategi ini dipilih karena dipandang dapat mengoptimalisasikan
interaksi semua unsur pembelajaran. Penerapan teori Bruner dalam pembelajaran
dapat menjadikan peserta didik lebih mudah dibimbing dan diarahkan. Adapun
tahapan dalam teori Bruner sebagai berikut:
1. Tahap enaktif; pada tahap ini pengetahuan dipelajari secara aktif dengan
menggunakan benda-benda konkret atau dengan menggunakan situasi nyata,
2. Tahap ikonik; pada tahapan ini pengetahuan dipresentasikan dalam bentuk
bayangan visual atau gambar yang menggambarkan kegiatan konkret yang terdapat
pada tahap enaktif, dan
3. Tahap simbolik; pada tahap ini pengetahuan dipresentasikan dalam bentuk
simbol-simbol.
Kemampuan pendidik dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang
sesuai dengan perkembangan intelektual peserta didik sangat menetukan untuk
dapat tidaknya suatu konsep dipelejari dan dipahami peserta didik. Terdapat dua
fase dalam menerapkan teori belajar Ausubel (Sulaiman, 1988), yaitu:
1. Fase perencanaan
Pada fase perencanaan, pendidik melakukan beberapa hal seperti dibawah
ini,
a. Menetapkan Tujuan Pembelajaran
b. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan peserta didik.
c. Membuat struktur materi
d. Memformulasikan Advance
Organizer. Advance organizer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1)
mengkaitkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan peserta didik. 2)
mengorganisasikan materi yang dipelajari peserta didik
2. Fase Pelaksanaan
Setelah fase perencanaan, pendidik menyiapkan pelaksanaan dari model
Ausubel ini. Untuk menjaga agar peserta didik tidak pasif maka pendidik harus
dapat mempertahankan adanya interaksi dengan peserta didik melalui tanya jawab,
memberi contoh perbandingan dan sebaginya berkaitan dengan ide yang disampaikan
saat itu Pendidik hendaknya mulai dengan advance organizer dan
menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai pedoman untuk mengembangkan bahan
pengajaran.
Langkah berikutnya adalah menguraikan pokok-pokok bahan menjadi lebih
terperinci melalui diferensiasi progresif. Setelah pendidik yakin bahwa peserta
didik mengerti akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah
berikutnya yaitu:
a. Menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi
integrative dan
b. Melanjutkan dengan
difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut menjadi lebih luas.
Aplikasi Teori Humanisme
dalam Pembelajaran
Teori Humanisme sering
dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini
dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi
dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar meterjemahkannya ke dalam
langkah-langkah yang lebih konkrit dan praktis. Namun karena sifatnya yang
ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori Humanisme mampu memberikan arah
terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan
tersebut. Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada
terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia
yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan
bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya,
pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri.
Pengalaman emosional dan
karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh pendidik
dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan
baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat
pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian
teori Humanisme mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat
dicapai.
Teori Humanisme akan
sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang
lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan
selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori Humanisme
ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang
praktis dan operasional, namun sumbangan teori ini amat besar. Ide-ide, konsep-konsep,
taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para
pendidik untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu
mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan
tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan
alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran
yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana
tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat
diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman
belajar yang dipilih untuk peserta didik, mungkin saja berguna bagi pendidik
tetapi tidak berarti bagi peserta didik (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal
tersebut tidak sejalan dengan teori Humanisme. Menurut teori ini, agar belajar
bermakna bagi peserta didik, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari
peserta didik sendiri. Maka peserta didik akan mengalami belajar eksperiensial
(experiential learning).
Pada teori Humanisme, pendidik
diharapkan tidak hanya melakukan kajian bagaimana dapat mengajar yang baik,
namun kajian mendalam justru dilakukan
untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar peserta didik dapat belajar dengan
baik. Jigna dalam jurnal CS Canada (2012) menekankan bahwa “To learn well,
we must give the students chances to develop freely”. Artinya untuk menghasikan pembelajaran yang
baik, pendidik harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berkembang secara bebas.
Pendidikan modern
mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan pendidikan tradisional. Dalam pendidikan tradisional Proses
belajar terjadi secara stabil, dimana peserta didik dituntut untuk mengetahui
informasi melalui buku teks, memahami informasi yang mereka dapatkan dan
menggunakan informasi terbut dalam aktivitas keseharian peserta didik.
Sedangkan dalam pendidikan modern, peserta didik menyadari hal-hal yang terjadi dalam proses pembelajaran, hal ini
menunjukkan hubungan dua arah antara pendidik dan peserta didik. Dalam Pendidikan modern peserta didik memanfaatkan teknologi untuk membuat
kognisi, pemahaman dan membuat konten pembelajaran menjadi lebih menarik dan
lebih berwarna.
Pada aplikasi teori humanisme sangat baik bila pendidik dapat
membuat hubungan yang kuat dengan peserta didik dan membantunya untuk berkembang secara bebas. Dalam
proses pembelajaran, pendidik dapat menawarkan berbagai sumber belajar kepada
peserta didik, seperti situs-situs web yang mendukung pembelajaran. Inti dari
pembelajaran humanism adalah bagaimana
memanusiakan peserta didik dan membuat proses pembelajaran yang menyenangkan.
Dalam prakteknya teori Humanisme ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk
berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan
peserta didik secara aktif dalam proses belajar.
Aplikasi Teori Konstruktivisme
dalam Pembelajaran
Aplikasi teori konstruktivisme
jika dikaitkan dengan pembelajaran proses pembelajaran modern adalah
berkembangnya pembelajaran dengan web (web learning) dan
pembelajaran melalui social media (social media learning).
Smaldino, dkk (2012) menyatakan bahwa pembelajaran pada abad ke 21 telah banyak
mengalami perubahan, intergrasi internet dan social media memberikan perspektif
baru dalam pembelajaran.
Pembelajaran dengan social
media memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi,
berkolaborasi, berbagi informasi dan pemikiran secara bersama. Sama halnya
dengan pembelajaran melalui social media, pembelajaran melalui web
juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melengkapi satu atau
lebih tugas melalui jaringan internet. Selain itu juga dapat melakukan
pembelajaran kelompok dengan menggunakan fasilitas internet seperti google
share. Model pembelajaran melalui web maupun social media ini
sejalan dengan teori konstruktivisme, dimana peserta didik adalah pembelajar
yang bebas yang dapat menentukan sendiri kebutuhan belajarnya.
Beberapa aplikasi teori konstruktivisme
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju
ke bagian-bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas
2. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan
pertanyaan dan ide-ide peserta didik
3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada
sumber- sumber data primer dan manipulasi bahan
4. Peserta didik dipandang sebagai pemikir-pemikir
yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5. Pengukuran proses dan hasil belajar peserta didik
terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara pendidik
mengamati hal- hal yang sedang dilakukan peserta didik, serta melalui
tugas-tugas pekerjaan
6. Peserta didik banya belajar dan bekerja di dalam group
proses
7. Memandang pengetahuan adalah non objektif, berifat
temporer, selalu berubah, dan tidak menentu.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali
makna.