Perkembangan Periode Pra Sekolah

Perkembangan Periode Pra Sekolah

Anak-anak dalam periode pra-sekolah berkisar antara 2 -6 tahun. Pertumbuhan fisik anak-anak melambat sepanjang tahun-tahun prasekolah, tetapi perkembangan psikososial dan kognitif mereka meningkat. Anak mulai mengembangkan rasa minat yang kuat dan mampu berkomunikasi lebih efektif dengan orang lain di sekitarnya. Beberapa orang tua mengalami kesulitan mengartikan bahasa anak-anak mereka dan berkomunikasi dengan mereka. DeLaune dan Ladner (2011) menunjukkan bagaimana anak-anak belajar dan membentuk hubungan dengan orang lain melalui permainan.

 

Tingkah laku anak-anak selama fase ini dapat mengganggu beberapa orang tua; anak-anak tampaknya sengaja membuat orang tua mereka kesal, dan mereka bisa sulit untuk ditangani. Lebih banyak penekanan harus diberikan pada orang tua, karena anak-anak pada usia ini mulai membentuk sikap mereka sendiri. Bahkan jika Sebagian orang tua bingung bagaimana menerapkannya pada anak usia 2-6 tahun, di sinilah orang tua mulai menanamkan nilai dan makna kebaikan dalam diri dan pikiran anak-anaknya.

Perkembangan Fisiologis

Hurlock (2013) menjelaskan bahwa gerak anak usia prasekolah dan penampilannya akan mudah dibedakan dengan anak-anak pada periode sebelumnya. Pada anak usia prasekolah, geraknya umumnya aktif. Karena mereka sudah memiliki penguasaan atau kendali atas tubuh mereka, mereka mulai sangat menikmati aktivitas yang mereka lakukan sendiri. Biasanya kebutuhan istirahat yang cukup setelah anak banyak melakukan aktivitas tetap diperlukan. Pada masa ini anak membutuhkan jadwal aktivitas yang tenang. Dari segi pertumbuhan fisik, otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari perhatian pada area jari tangan dan jari. Kurangnya kontrol jari dan tangan menyiratkan bahwa anak masih belajar dan tidak dapat menyelesaikan tindakan sulit yang membutuhkan  kemampuan jari dan tangan, seperti mengancingkan pakaian dan mengikat tali sepatu. Secara fisik, anak-anak masih mengalami kesulitan memfokuskan mata mereka pada benda-benda kecil selama era ini karena koordinasi dan kontrol tangan mereka belum sempurna.

 

Tubuh anak masih fleksibel pada usia ini, tetapi otak dilindungi oleh tengkorak yang lunak. Karena sistem otot system muskuloskeletal masih berkembang, anak-anak prasekolah rentan terhadap cedera, terutama ketika mereka terlalu aktif. Kelompok usia ini juga dikenal sebagai Zaman Keemasan, yang mengacu pada semua anak berusia 2 hingga 6 tahun. Kaki dan jari anak sudah mulai lebih kuat dan lebih fleksibel seiring dengan peningkatan kemampuan motorik kasar dan halusnya. Otak, otot, saraf, dan tulang semuanya telah matang dan berkembang ketingkat koordinasi yang tinggi. Hal ini juga tidak lepas dari pemberian nutrisi fisik secara terus menerus kepada anak usia pra sekolah berupa makanan sehat dengan gizi seimbang. Orang tua harus memberikan stimulus gizi psikologis berupa perhatian, inspirasi, dan dukungan semangat kasih sayang untuk mendorong anak bergerak dan belajar.

Perkembangan Psikologis

Perkembangan adalah suatu proses yang berkelanjutan yang membutuhkan stimulasi dan dorongan yang konstan agar kehidupan dapat terus berlanjut. Perkembangan manusia terjadi secara alami karena ia memiliki komponen psikologis yang membantu perkembangannya. Hurlock (2013) menyatakan bahwa komponen kognitif, motorik, dan afektif, sosial, emosional, bahasa, moral, dan agama semuanya berperan dalam perkembangan manusia sejak bayi hingga tua.

Perkembangan kognitif

Perkembangan manusia sebagian besar dipengaruhi oleh faktor kognitif, menurut Piaget. Kognitif adalah kemampuan untuk memahami, mengenali, dan memahami melalui penggunaan pengamatan dan pengamatan. Kemampuan individu untuk mempersepsikan dan mengetahui dirinya dan lingkungannya dalam suatu proses, atau suatu perkembangan pemikiran dan pengenalan individu untuk mengkonstruksi atau mengelola dunia dengan caranya sendiri, disebut sebagai kognitif.

 

Perkembangan kognitif anak-anak berada dalam tahap pra-operasional selama tahun-tahun pra-sekolah. Cara berpikir anak tetap egosentris, dan dia hanya mampu mendekati situasi dari satu perspektif. Anak-anak prasekolah dengan cepat memahami gagasan berhitung dan mulai bermain game atau berfantasi tentangnya. Mereka tidak percaya bahwa pikirannya kuat, imajinasi yang diinduksi oleh pemikiran magis yang membantu anak-anak prasekolah membuat ruang di lingkungan nyata mereka.

 

Dari segi persepsi kognitif pada masa prasekolah antara lain: mulai meniru gambar meskipun dalam bentuk coretan yang tidak sempurna, memainkan peran dengan peran yang realistis, mulai dapat mendengarkan cerita dengan baik, terdapat komentar ketika mendengarkan cerita, dan mulai bisa menghitung dan memberi warna. tepat pada objek gambar.

Perkembangan Sosial

Dalam kontak sosial, inovasi dan daya cipta anak-anak prasekolah tampak sangat tinggi. Anak-anak mudah untuk berteman, tetapi mereka juga mudah bermusuhan dengan teman sebayanya, karena egosentrisitas mereka yang tinggi pada usia ini.

 

Anak-anak mulai menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan diri melalui hubungan dengan orang lain dari keluarga, teman, dan sekolah mereka saat komponen ini berkembang. Pertumbuhan perilaku anak dalam scenario inilah yang penting adalah tumbuhnya tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku dimanapun anak berada dalam keadaan ini.

 

Perkembangan sosial anak prasekolah meliputi:

1.     Mampu membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan teman sebayanya.

2.     Mengamati anak-anak lain dan menjalin persahabatan dengan mereka

3.     Mampu berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana

4.     Kenali pentingnya bergiliran saat bermain dengan teman sebaya.

5.     Mengkomunikasikan ide dan perasaan melalui ekspresi

Perkembangan Emosional

Anak-anak prasekolah cenderung menunjukkan emosi yang intens. Mereka sangat gembira, senang, dan bingung pada satu saat, dan kemudian sangat tidak puas pada saat berikutnya. Imajinasi anak-anak prasekolah sangat jelas, dan kekhawatiran mereka cukup nyata. Mayoritas anak usia ini sudah menguasai pengendalian diri. Mereka dapat menamai emosi mereka sehingga mereka dapat menindaklanjutinya. Tanah liat, permainan air, sketsa atau lukisan, atau permainan dramatis dengan boneka semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan emosi yang kuat.

 

1.     Perkembangan Emosional Anak Prasekolah (3-4 tahun)

Anak-anak dapat mengekspresikan emosi dasar seperti kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, dan kegembiraan melalui bahasa. Meskipun Anda mungkin perlu memberikan banyak pengingat, anak dapat merasa bersalah dan memahami bahwa ia harus meminta maaf jika ia telah melakukan kesalahan. Anak itu murah hati dan menunjukkan bahwa dia mengerti bahwa kita harus berbagi dengan orang lain dalam hidup, tetapi jangan berharap dia melakukannya sepanjang waktu.

2.     Perkembangan Emosional Anak Prasekolah (4-5 tahun)

Anak dapat mengekspresikan emosi yang lebih rumit seperti frustrasi/gagal, jengkel, dan malu menggunakan bahasa. Jika seorang anak merasa bersalah, malu, atau takut, ia dapat menyembunyikan kebenaran tentang sesuatu.

3.     Perkembangan emosi anak prasekolah (5 tahun)

Anak-anak menjadi lebih sadar akan perasaan mereka terhadap orang lain dan bertindak berdasarkan perasaan itu, seperti bersikap ramah kepada teman dan keluarga dan ingin lebih banyak membantu Anda. Untuk menghindari masalah, anak-anak akan melakukan segala upaya untuk mengikuti aturan

Perkembangan Bahasa

Bahasa adalah alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan internal seperti pikiran dan perasaan. Bahasa juga merupakan ciri dan indicator kemampuan seseorang untuk menerima atau menolak informasi atau isyarat dari orang lain.

 

Teori bahasa Wundt menyatakan bahwa gerak fisik merupakan ekspresi dari gerak psikis (Baraja, 2005: 179). Antara fenomena mental dan fisik, ada hubungan serupa. Tujuan dan tuntutan psikologis seseorang dapat terlihat dari ekspresi wajah dan perilakunya. Menurut hipotesis ini,perkembangan bahasa anak-anak prasekolah dapat dibagi menjadi dua tahap:

 

Tahap Pertama (2.0-2.6), yang didefinisikan sebagai berikut:

1.     Anak mampu menyusun kalimat tunggal tanpa cela.

2.     Anak sudah mulai memahami konsep perbandingan.

3.     Anak memiliki banyak pertanyaan tentang nama dan tempat, seperti apa, dari mana, dan dari mana asalnya.

4.     Anak-anak telah menggunakan banyak kata awal dan akhir.

 

Tahap kedua (2,6-6,0) didefinisikan sebagai berikut:

1.     Anak dapat memahami dan menggunakan frasa majemuk dan klausa bawahan.

2.     Tingkat berpikir anak telah meningkat, dan dia banyak mengajukan pertanyaan sebab akibat waktu dalam bentuk pertanyaan kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana.

Perkembangan Moral

Anak-anak prasekolah mulai memahami konsep baik dan salah, serta perkembangan hati nurani. Selama tahun prasekolah, suara-suara batin yang memperingatkan atau mengancam muncul. Kohlberg menyebut periode ini, yang terjadi antara usia 2 dan 7 tahun, tahap prakonvensional, karena ditandai dengan sikap hukuman dan kepatuhan (Kohlberg, 1984). Perkembangan moral dan spiritual anak prasekolah meliputi:

1.     Anak akan merasa bersalah dan sebagai akibatnya mengembangkan hati nuraninya.

2.     Anak prasekolah akan bersikap hormat dan patuh pada otoritas orang tuanya.

3.     Anak akan belajar bagaimana mengelola amarahnya.

4.     Anak prasekolah selalu berfantasi dan berimajinasi

5.     Anak akan memperoleh rasa moralitas, atau nilai-nilai yang memandu bagaimana dia memperlakukan orang lain dan memandang keadilan.

 

Perkembangan moral anak prasekolah berada pada tingkat yang paling dasar, yang disebut dengan moralitas pra-konvensional. Anak mempersepsikan moralitas pada tahap ini tergantung pada dampak dari suatu kegiatan,seperti menyenangkan (reward), menyakitkan (punishment), dan sebagainya (punishment). Karena mereka takut dihukum oleh pihak berwenang, anak-anak tidak melanggar aturan. Akibatnya, sangat penting untuk memiliki orientasi kepatuhan pada tahap ini, dan otoritas menentukan konsep anak tentang hukuman yang baik dan buruk. Tujuan dari mengikuti peraturan adalah untuk menghindari hukuman dari pihak yang berwenang. Akibatnya, dalam penyelidikan psikologis, Kohlberg mengklasifikasikan moral sebagai fenomena kognitif. Sudut pandang moralnya merupakan bagian dari penalarannya (Desmita, 2016: 262).

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

(sumber: https://health.detik.com/)

Konsep Dasar Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL) didasarkan pada hasil penelitian Barrow and Tamblyn (Barret, 2005: 13) dan pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University Kanada pada tahun 60-an. Pembelajaran berbasis masalah sebagai sebuah pendekatan pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa pembelajaran berbasis masalah sangat efektif untuk sekolah kedokteran dimana mahapeserta didik dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut untuk memecahkannya. Walaupun pertama dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya diterapkan dalan pembelajaran secara umum.

 

Dilihat dari konteks perbaikan kualitas pendidikan, maka model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran. Tidak sedikit peserta didik yang mengambil jalan pintas, misalnya dengan mengomsumsi obat-obatan terlarang atau bahkan bunuh diri hanya gara-gara tidak sanggup memecahkan masalah. Model pembelajaran berbasis masalah diharapkan dapat memberikan latihan dan kemampuan setiap individu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

 

Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu kegiatan pembelajaran yang berpusat pada masalah. Istilah berpusat berarti menjadi tema, unit, atau isi sebagai fokus utama belajar. Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.

 

Jadi, Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Basic Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah Arends (dalam Trianto, 2007) pembelajaran berbasis masalah memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Artinya, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk peserta didik

2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Artinya, meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya peserta didik meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

3. Penyelidikan autentik. Artinya, pengajaran berbasis masalah mengharuskan peserta didik melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan.

4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Artinya, pengajaran berbasis masalah menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan.

5. Kerjasama. Artinya, pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh peserta didik yang bekerja satu sama dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.

Sintaks model pembelajaran berbasis masalah

Menurut Trianto (2011) sintak pembelajaran berbasis masalah yaitu :

1. Orientasi Peserta didik pada Masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan alat bahan yang dibutuhkan, memgajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih

2. Mengorganisasi peserta didik untuk belajar

Mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

4. Mengembangkan dan menyajikan hasil penyelesaian masalah

Guru membantu peserta didik dalam merencanakan, dan menyiapkan karya hasil yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.

5. Menganalisis dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah

Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan

Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Warsono dan Hariyanto (2012) menyatakan ada beberapa kelebihan model pembelajaran berbasis masalah antara lain:

1. Peserta didik akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya terkait dengan pembelajaran dalam kelas, tetapi juga menghadapi masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya.

3. Makin mengakrabkan guru dengan peserta didik.

4. Karena ada kemungkinan suatu masalah harus diselesaikan peserta didik melalui eksperimen hal ini juga akan membiasakan peserta didik dalam menerapkan metode eksperimen

 

Sanjaya (2008) mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa kelemahan, antara lain:

1. Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencobanya,

2. Membutuhkan cukup waktu untuk persiapan pembelajaran.