4 Teori Belajar - Behaviorisme, Kognitivisme, Humanisme, Konstruktivisme

Teori-teori Belajar

sumber: https://djavatoday.com/

Teori Belajar Behaviorisme

Teori behaviorisme merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Menurut teori tersebut, tingkah laku manusia merupakan suatu hubungan stimulus‐respons. Siapa yang menguasai stimulus‐respons sebanyak‐banyaknya, maka orang tersebut yang pandai dan  berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan.

 

Tokoh teori belajar behaviorisme antara lain Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), Edward Thorndike (1874-1949), Jhon B Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, Burrhus Frederic Skinner

 

Salah satu tokoh pengembang teori behaviorisme adalah Thorndike (1874‐1949), dengan eksperimennya belajar pada binatang, juga berlaku bagi manusia, Thorndike dengan trial and error. Thorndike menghasilkan belajar Connectionism, karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi antara stimulus dan respons. Stimulus yakni hal-hal yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar, seperti; pikiran, perasaan atau hal‐hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yakni reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.

 

Thorndike mengemukakan 3 (tiga) prinsip atau hukum dalam belajar, antara lain: (Omon Abdurakhman, 2017)

1. Law of readiness, belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan tersebut karena individu yang siap untuk merespon serta merespon akan menghasilkan respon yang memuaskan;

2. Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan serta selalu mengulang apa yang telah didapat;

3. Law of effect, belajar akan menjadi bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.

 

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa teori behaviorisme merupakan suatu perubahan tingkah laku karena adanya stimulus yang dapat diamati, dari hasil hubungan timbal balik antara guru sebagai pemberi stimulus, dan peserta didik sebagai perespon tindakan stimulus yang diberikan. Respon yang diinginkan tergantung bagaimana stimulus yang diberikan, maka diperlukan kreativitas guru dalam memperoleh respon yang diinginkan peserta didik, yakni berupa perubahan tingkah laku.

Teori Belajar Kognitivisme

Pengertian belajar menurut teori belajar kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang. Menurut teori kognitif, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak terpatah-pata, terpisah-pisah, tapi melalui proses yang mengalir, bersambung-sambung, dan menyeluruh.


Teori belajar kognitif lebih menekankan pada proses belajar bukan pada hasil belajar, bahwa belajar adalah proses mental yang melibatkan kejiwaan, belajar adalah proses yang terjadi secara internal dalam diri manusia, teori ini tidak mengabaikan perubahan-perubahan yang sifatnya abstrak atau tidak terukur, seperti aktivitas motoric, aktivitas visual, dan kemampuan berbahasa.


Aktivitas belajar dalam teori ini merupakan hasil penggabungan antar stimulus yang diterima dengan pengetahuan awal yang dimiliki, sehingga dalam teori ini dikenal istilah asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi merupakan proses penyatuan pengetahuan baru ke struktur pengetahuan awal. Akomodasi merupakan tahap penyesuaian struktur pengetahuan awal dalam situasi yang baru. Sedangkan ekuilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Tokoh teori belajar Kognitivisme yakni Jean Piaget, Davis Ausubel, Jerome Bruner.


Proses kognitif terjadi secara internal dalam pusat susunan syaraf, pada waktu manusia sedang berpikir. Kemampuan kognitif tersebut berkembang secara bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di pusat susunan syaraf. Salah satu teori yang berpengaruh dalam menjelaskan perkembangan kognitif tersebut adalah teori Piaget. (Vera Heryanti, 2014)


Perkembangan kognitif menurut Jean Piaget dibagi menjadi dalam 4 (empat) tahapan, antara lain: (Sri Esti WD, 2004)

Fase Sensori Motor (umur 0 – 2 tahun)

Menurut Piaget, dalam tahapan ini perkembangan kognitif seorang anak yang baru lahir hingga berusia 2 tahun sudah bisa mendengarkan suara, mengkoordinasikan gerakan mata, sering menemukan benda-benda tersembunyi, hingga sering menangis untuk meminta sesuatu. Sebagai contoh, seorang Ibu meletakkan dot bayi di bawah bantal, lantas sang anak yang terbiasa menggunakan dot bayi akan mencarinya.

Fase Intuitif – Pra Operasional (2 – 7 tahun)

Pada tahapan ini, kognitif seorang anak terus mengalami perkembangan yang jauh lebih baik. Sejumlah contoh perkembangan kognitif pada seorang anak di tahap ini di antaranya meniru perilaku orang dewasa, mampu mengikuti arahan sederhana yang dilakukan orang tua (memindahkan barang dari kursi ke lantai), hingga menanyakan suatu benda atau makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan.

Fase Operasi – Kongkrit (umur 7 – 11 tahun)

Menurut Piaget, dalam tahapan ini perkembangan kognitif seorang anak ditandai dengan pemikiran yang lebih logis dan mulai bisa memecahkan suatu masalah. Sejumlah contoh perkembangan kognitif di tahap ini adalah bertanya suatu hal yang lebih rumit, sering melakukan eksperimen, mulai menyukai hobi, hingga mampu menangani masalah kecil dan mencari solusinya.

Fase Operasi Formal (umur 12 tahun ke atas)

Dalam tahapan ini, Piaget mengungkapkan kalau perkembangan kognitif seorang anak jauh lebih baik sehingga bisa berpikir semakin logis dan mampu mengungkapkan pendapatnya. Contoh seorang anak yang sudah dalam tahap perkembangan kognitif ini yaitu dapat berpikir kreatif, mampu menyuarakan pendapat, hingga menggunakan akal pikiran secara rasional.

Teori Belajar Humanisme

Teori Humanisme menyatakan bahwa belajar adalah memanusiakan manusia. Maksudnya adalah menghargai segala yang ada pada manusia. Oleh sebab itu, teori belajar humanisme sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi. Teori ini juga lebih mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajarnya. Proses belajar dianggap berhasil jika peserta didik telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri.

 

Tokoh-tokoh teori belajar Humanisme antara lain Abraham Maslow, Carl R Roger, Arthur Combs, Kolb, Honey Humford dan Hebermas

 

Teori humanisme menekankan kasih sayang dalam pelajaran, tidak ada emosi tanpa kognisi, serta tidak ada kognisi tanpa emosi. Mengkombinasikan bahan dan perasaan tersebut terkadang disebut “ajaran tingkat tiga”. Ajaran tingkat satu yakni fakta, tingkat dua adalah konsep, dan tingkat tiga adalah nilai. Hubungan antara fakta, konsep dan nilai dapat digambarkan dengan suatu piramida. Alas piramida yang lebar menggambarkan fakta; konsep mewakili pemahaman dan perumusan yang diturunkan dari fakta, sedangkan puncak piramida menggambarkan nilai. Puncak tersebut menggambarkan keputusan yang diambil dalam hidup, yakni bahwa setiap keputusan hendaknya didasarkan terhadap fakta, serta konsep pembelajaran yang bermakna hendaknya mencakup 3 (tiga) tingkatan tersebut. Pembahasan nilai yang tergabung dalam konsep, seharusnya merupakan suatu kesatuan dalam pengalaman belajar di kelas. Guru dan peserta didik hendaknya perlu menguji dan menjelajah nilai-nilai yang mendasari suatu bahan pelajaran.

 

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ajaran kognitif dan perasaan saling berkaitan. terdapat beberapa tujuan umum ajaran humanisme, antara lain: (Sastrawijaya, 1988)

1.     Perbaikan komunikasi antara individu;

2.     Meniadakan individu yang saling bersaing;

3.     Keterlibatan intelek dan emosi dalam suatu proses belajar;

4.     Memahami dinamika bekerjasama; dan

5.     Kepekaan kepada pengaruh perilaku individu lain dalam lingkungan.


Apabila tujuan umum di atas telah dicapai, maka belajar akan berlangsung baik pada tingkat pribadi atau antar pribadi. Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada roh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarni metode-metode yang diterapkan.

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Konstruktivisme merupakan filosofi pembelajaran yang dilandasi premis bahwa, dengan merefleksikan pengalaman, seseorang dapat membangun, mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman tentang lingkungan tempat tinggal. Kontruktivisme melandasi pemikiran bahwa, pengetahuan bukan sesuatu yang given dari alam, akan tetapi pengetahuan merupakan hasil konstruksi (bentukan) aktif manusia itu sendiri. Seseorang akan menciptakan hukum dan model mental sendiri, yang di pergunakan untuk menafsirkan dan menerjemahkan pengalaman. Kegiatan belajar dengan demikian semata-mata sebagai suatu proses pengaturan model mental seseorang, dalam mengakomodasi pengalaman baru. (Suyono, 2014)

 

Teori belajar ini dihasilkan dari lingkungan sekitar dengan menggunakan panca Indera seperti melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan merasakan. Ataupun dengan pengetahuan sebelumnya seperti pengetahuan fisik, pengetahuan kognitif, ataupun pengetahuan mental. Strategi pembelajaran konstruktivisme adalah belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif,dsb. Tokoh teori belajar konstruktivisme antara lain John dewey, Jean Peaget, Lev Vygotsky

 

Sementara peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh peserta didik berjalan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang peserta didik dalam belajar.

 

Dari keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa teori konstruktivisme mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha pemberian makna oleh peserta didik kepada pengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada pembentukan struktur kognitifnya, memungkinkan mengarah kepada tujuan tersebut. Oleh karena itu pembelajaran diusahakan agar dapat memberikan kondisi terjadinya proses pembentukan tersebut secara optimal pada diri peserta didik. Peserta didik diberikan kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya secara luas.

Rujukan

Henryk Misiak, V. S. S. (2005). Psikologi Fenomenologi, Eksistensial, dan Humanistik.

Bandung: PT Refika Aditama.

Khadijah. (2016). Pengembangan Kognitif Anak Usia Dini. Medan: IKAPI.

Omon Abdurakhman, R. K. R. (2017). Teori Belajar dan Pembelajaran. UNIDA.

Sastrawijaya, T. (1988). Proses Belajar Mengajar Diperguruan Tinggi. Jakarta.

Sri Esti WD. (2004). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.

Suyono, H. (2014). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Roskadarya Remaja.

Vera Heryanti. (2014). Meningkatkan Perkembangan Kognitif Anak Melalui Permainan

Tradisional (Congklak). Universitas Bengkulu, 2(1), 22.

0 Comments:

Post a Comment