Periode Usia Remaja (Perkembangan Fisik)

Periode Usia Remaja (Perkembangan Fisik)

sumber:https://www.halodoc.com/

Konsep Dasar Perkembangan Remaja

Remaja atau adolescence diambil dari bahasa latin yang memiliki arti tumbuh menjadi dewasa (Sari, 2017). Masa remaja merupakan masa dimana anak-anak mengalami transisi menjadi. Banyak perubahan yang terjadi di periode ini, mulai dari hormonal, social, fisik, dan juga psikologis (Pediatri, 2010). Dengan demikian, dapat disimpulkan bagwa remaja merupakan masa peralihan Dimana sebelumnya berada di masa kanak-kanak hingga tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Perkembangan yang dimaksud meliputi aspek fisik atau tubuh, aspek kejiwaan atau psikologis serta kondisi hormon dalam dirinya.

Ciri-ciri Khas Perkembangan Remaja

Perkembangan di masa remaja, diawali dengan hadirnya beberapa tingkah laku, mulai dari tingkah laku yang positif hingga  tingkah laku yang negatif. Hal tersebut disebabkan, remaja sedang mengalami masa panca roba pada masa ini, dari masa anak-anak ke masa remaja (Umami, 2019). Berikut ciri dari perkembangan periode remaja, (Hurlock, 1980):

1.     Periode yang penting

2.     Periode peralihan

3.     Periode perubahan

4.     Usia bermasalah

5.     Masa mencari identitas

6.     Usia yang menimbulkan ketakukan

7.     Ambang masa dewasa

Aspek - Aspek Perkembangan Remaja

Di masa perkembangan remaja, terdapat beberapa aspek yang terlihat sangat menonjol perkembangannya. Antara lain adalah (Fatmawaty, 2017) :

1.     Perkembangan Fisik

Pertumbuhan fisik di masa remaja bertumbuh dan berkembang dengan cepat. Keadaann fisik merupakan suatu hal yang penting dalam diri remaja (Astuti & Ahyani, 2018).

2.     Perubahan Eksternal

Di masa remaja, remaja akan mengalami beberapa perubahan,mulai dari tinggi badan, berat badan, hingga organ seks (Fatmawaty, 2017).

3.     Perubahan Internal

Perubahan dalam internal ini seperti perubahan pada system pencernaan, system peredaran darah, jaringan tubuh, system pernafasan (Fatmawaty, 2017).

4.     Perkembangan Emosi

Masa remaja umumnya memiliki energi yang terbilang besar, emosi yang berkobar, tetapi pengendalian diri belum mencapai sempurna. Remaja juga acap kali mengalami perasaan yang tidak aman, tidak tenang, serta khawatir dan kesepian (Endah Sary, 2017).

5.     Perkembangan Kognisi

Aktivitas kognitif pada remaja, umumnya digunakan untuk memperluas pengetahuan yang didapatkan di lingkungan sosialnya, yaitu berwujud pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan pembentukan identitas seorang remaja (Shidiq & Raharjo, 2018).

6.     Perkembangan Sosial

7.     Pra remaja kerap menggunakan cara mencontoh kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai idola. Kehidupan sosial seorang anak remaja pun berkembang sangat luas dan berakibat remaja menjadi berusaha melepaskan diri dan terbebas dari aturan-aturan orang tua (Ahyani & Astuti, 2018).

 

Dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja, terdapat beberapa aspek yang ada dalam diri remaja. Aspek-aspek ini menonjol dalam perkembangannya dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Beberapa aspek yang ada adalah perkembangan fisik, perubahan eksternal dan internal, perkembangan emosi, kognisi, dan sosial.

Fase dan Tugas Perkembangan Remaja

Tiap – tiap individu memiliki peran serta tugasnya tersendiri yang sesuai dengan tahapan usianya, baik dari kanak-kanak maupun dewasa. Dalam mencukupi tugas-tugasnya setiap individu memiliki tujuan untuk mencapai dan mencukupi kebutuhan individu itu sendiri (Sebayang, 2018). Terutama saat remaja, dimana masa ini adalah masa perubahan, dari seorang anak hingga akhirnya menjadi orang dewasa. Sehingga, remaja dapat dikelompokkan menjadi berbagai tahapan seperti berikut (Diananda, 2018):

1.     Pra Remaja (11 atau 12 – 13 atau 14 Tahun)

Usia tersebut sering disebut dengan fase negatif. Dikarenakan berkembangnya hormonal yang menyebabkan perubahan yang tidak terduga pada suasana hati seperti gelisah, bingung, takut dan cemas. Pada usia ini juga remaja mempunyai karakteristik untuk ingin bebas, memperhatikan tubuhnya dan lebih dekat dengan teman sebaya. Pada pra remaja ini akan mengalami perubahan fisik yang sangat pesat, seperti tinggi badan, berat badan dan perubahan pada bentuk fisik (Knoer, 2006). Maka dari itu tugas perkembangan pada usia ini yaitu menerima kondisi fisik dirinya sendiri serta efektifkan dalam menggunakan bagian tubuhnya.

2.     Remaja Awal (13 atau 14 – 17 Tahun)

Usia tersebut seorang remaja mengalami perubahan fisik, sikap dan perilaku yang sangat pesat yang menyebabkan remaja memiliki banyak impian dan fokus pada dirinya (Octavia, 2020). Tugas perkembangan pada usia ini yaitu bersosialisasi, meningkatkan kemandirian dan pengawasan dari orang tua.

3.     Remaja Lanjut (17 – 20 atau 21 Tahun)

Usia tersebut remaja cenderung ingin menunjukkan diri, selalu ingin menjadi pusat perhatian, memiliki banyak energi, dan bersemangat. Namun berlangsung dalam waktu singkat. Maka dari itu tugas perkembangan pada usia ini yaitu membuat pribadi lebih bertanggung jawab, meningkatkan kemandirian dan membuat dirinya di terima oleh masyarakat (Knoer, 2006).

 

Dari penjelasan diatas mengenai fase remaja maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga fase remaja yaitu fase pra remaja, remaja awal dan remaja lanjut, dimana pada fase-fase tersebut remaja mengalami perubahan pada fisik, psikis dan psikososial.

Kebutuhan Remaja

Semakin bertambah usia maka semakin lebih besar kebutuhan yang akan dimilikinya, begitu juga dengan remaja kebutuhan pada masa kanak-kanak akan mulai berkurang, diganti menjadi kebutuhan yang lebih matang. menurut Hurlock terdapat beberapa kebutuhan yang dialami remaja (Hurlock, 2002), kebutuhan remaja tersebut ialah:

1. Kebutuhan Rekreasi remaja seperti permainan dan olahraga, untuk mengembangkan pengetahuan dan fisik mereka, bersantai bersama teman, senang berpergian atau liburan bersama teman, membaca buku/majalah/novel, menonton film, dan melamun.

2. Kebutuhan Sosial remaja seperti remaja lebih senang atau lebih banyak menghabiskan waktunya bersama teman-teman.

3. Kebutuhan Pribadi remaja seperti merawat penampilan, mengembangkan prestasi, agama, Pendidikan dan seks atau perilaku seks.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja memiliki kebutuhan-kebutuhan yang lebih matang untuk mereka mengembangkan diri agar dapat bisa dilihat dan diterima oleh orang lain.

Masa Kritis Pada Remaja

Masa kritis remaja ialah dimana remaja berusaha mencoba menemukan siapa dirinya (Kartikawati & Sari, 2017). Pada masa ini remaja cenderung akan memikirkan tindakan apa yang dilakukan, tindakan apa yang akan dan sedang dilakukan, serta akan mencoba  sesuatu sampai dapat dilakukannya. Terdapat dua masa kritis pada remaja (Marwoko, 2019), yaitu:

Ancaman/bahaya Fisik

1.     Kematian

Penyebab kecelakaan di usia remaja dikarenakan rendahnya pemahaman remaja terhadap ancaman/ bahaya di jalan raya. Seperti tidak memakai helm, berkendara dengan kecepatan diatas rata-rata, mengabaikan rambu lalu lintas di jalan.

2.     Bunuh Diri

Penyebab bunuh diri di usia remaja dikarenakan perilaku dan emosional remaja mengalami luapan emosi yang membuat gangguan perilaku muncul salah satunya yaitu bunuh diri.

3.     Cacat fisik

Cacat fisik pada remaja sebabkan karena bawaan sejak lahir ataupun disebabkan karena terjadinya kecelakaan yang menyebabkan cacat fisik permanen.

4.     Sulit menyesuaikan diri

Sulit menyesuaikan diri pada remaja disebabkan karena remaja yang tidak percaya diri akan kemampuan dan kelebihannya.Bahwasannya setiap individu memiliki kemampuan dan kelebihan yang berbeda.

 

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja perlu mengendalikan diri dan pemikiran mereka dengan menumbuhkan sikap kehati-hatian dan kepercayaan diri dalam menghadapi ancaman/bahaya.

Ancaman /Bahaya Psikologi

1.     Perilaku Sosial

Remaja perlu mengembangkan perilaku sosial yang matang. Ketidakmatangan tersebut seperti remaja memilih teman sebaya yang bersikap kekanakkanakan, membuang-buang waktu bersama teman untuk membicarakan sesuatu yang tidak penting.

2.     Perilaku Seksual

Remaja yang tidak memiliki pasangan akan dibedakan perlakuannya oleh teman-temannya, sikap seperti itulah yang menunjukkan ketidakmantangan remaja dalam berperilaku.

3.     Perilaku Moral

Berkaitan dengan perasaan, pikiran, dan tingkah laku yang sesuai ataupun tidak sesuai dalam masyarakat. Ketidakmatangan dalam perilaku moral yaitu kenakalan remaja seperti Tindakan kriminal.

4.     Hubungan Keluarga

Meningkatkan kemampuan untuk berinteraksi secara pribadi dengan keluarga dapat memperkecil permasalahan dalam keluarga. Begitupun sebaliknya ketidakmampuan dalam berinteraksi maupun berkomunikasi dengan keluarga menyababkan terjadinya permasalahan dalam keluarga.

 

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa remaja perlu memiliki pemikiran dan sikap yang matang dalam berperilaku di lingkungan sosial maupun di lingkungan keluarga.

Model Pembelajaran Kooperatif - Pengertian, Ciri-ciri, Tujuan, Prinsip, Langkah-langkah, Kelebihan dan Kelemahan

Model Pembelajaran Kooperatif

Sumber: https://fatkhan.web.id/

Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

Cooperative Learning berasal dari dua kata yaitu Cooperative dan Learning. Cooperative berarti kerjasama dan Learning berarti belajar. Jadi, Cooperative Learning merupakan belajar melalui kegiatan bersama. Cooperative Learning merupakan suatu model pembelajaran dengan learning community yaitu dengan membentuk masyarakat belajar atau kelompok-kelompok belajar. Selama proses kerjasama berlangsung, tentunya ada diskusi, saling bertukar ide, yang pandai mengajari yang lemah, dari individu atau kelompok yang belum tahu menjadi tahu.

 

Cooperative Learning lebih dari sekedar belajar kelompok, karena belajar dalam model Cooperative learning harus  ada “struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubugan yang bersifat interdependensi yang efektif diantara anggota kelompok. Model belajar Cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang membantu peserta didik dalam mengembangkan pemahaman dan sikapnya sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat, sehingga dengan bekerja secara bersama-sama diantara sesama anggota kelompok akan meningkatkan motivasi, produktivitas, dan perolehan belajar.

 

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang terstruktur dan sistematis, dimana kelompok-kelompok kecil bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif menekankan kerja sama antara peserta didik dalam kelompok. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa peserta didik lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temanya. Kegiatan peserta didik dalam belajar kooperatif antara lain mengikuti penjelasan guru secara aktif, menyelesaikan tugas-tugas dalam kelompok, memberikan penjelasan kepada teman sekelompoknya, mendorong teman sekelompoknya untuk berpartisipasi secara aktif, dan berdiskusi. Agar kegiatan peserta didik berlangsung dengan baik dan lancar diperlukan keterampilan-keterampilan khusus, yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi dan pembagian tugas antara anggota kelompok.

Ciri-ciri Model Pembelajaran Kooperatif

Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1.     Kelompok dibentuk dengan peserta didik kemampuan tinggi, sedang, rendah.

2.     Peserta didik dalam kelompok sehidup semati.

3.     Peserta didik melihat semua anggota mempunyai tujuan yang sama.

4.     Membagi tugas dan tanggung jawab sama.

5.     Akan dievaluasi untuk semua.

6.     Berbagi kepemimpinan dan keterampilan untuk bekerja bersama.

7.     Diminta mempertanggungjawabkan individual materi yang ditangani.

Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif

Pengembangan pembelajaran kooperatif bertujuan untuk pencapaian hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial. Masing-masing tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.     Pencapaian Hasil Belajar

Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan sosial, pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu peserta didik memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur kooperatif telah dapat meningkatkan penilaian peserta didik pada belajar akademik dan perubahan normal yang berhubungan dengan hasil belajar.

Pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan pada peserta didik yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik kelompok bawah maupun kelompok atas. Peserta didik kelompok atas akan menjadi tutor bagi peserta didik kelompok bawah. Dalam proses tutorial ini, peserta didik kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor kepada teman sebaya yang membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu.

2.     Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu

Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat sosial, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Telah diketahui bahwa banyak kontak fisik saja diantara orang-orang yang berbeda ras atau kelompok etnik tidak cukup untuk mengurangi kecurigaan dan perbedaan ide. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada peserta didik yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain.

3.     Pengembangan Keterampilan Sosial

Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada peserta didik keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, banyak kerja orang dewasa dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dalam masyarakat meskipun beragam budayanya. Sementara itu banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering terjadi suatu pertikaian kecil antar individu dapat mengakibatkan tindak kekerasan, atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk bekerja dalam situsi kooperatif. Selain unggul dalam membantu peserta didik memahami konsep-konsep sulit. Model ini sangat berguna untuk membantu peserta didik menumbuhkan kemampuan kerja sama.

Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif

Ada lima prinsip yang mendasari pembelajaran kooperatif, yaitu:

1. Positif independence artinya adanya saling ketergantungan positif yakni anggota kelompok menyadari pentingnya kerja sama dalam mencapai tujuan.

2. Face to face interaction artinya antar anggota berinteraksi dengan saling berpandangan.

3. Individual accountability artinya setiap anggota kelompok harus belajar dan aktif memberikan kontribusi untuk mencapai keberhasilan kelompok.

4. Use of collaborative/social skiil artinya harus menggunakan keterampilan bekerja sama dan bersosialisasi. Agar peserta didik mampu berkolaborasi perlu adanya bimbingan guru.

5. Group processing, artinya peserta didik perlu menilai bagaimana mereka bekerja secara efektif

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang mengutamakan pembelajaran Kooperatif.

1. Fase 1: Menyampaikan tujuan dan motivasi peserta didik. > Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.

2. Fase 2: Menyajikan nformasi. > Guru meyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.

3. Fase 3: Mengorganisasikan peserta didik kedalam kelompok Kooperatif. > Guru menjelaskan kepada peserta didik bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

4. Fase 4: Membimbing kelompok bekerja dan belajar. > Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

5. Fase 5: Evaluasi. > Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

6. Fase 6: Memberikan penghargaan. > Guru mencari cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil bekerja individu dan kelompok.

Kelebihan Pembelajaran Kooperatif

Kelebihan pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1. Saling ketergantungan yang positif.

2. Adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu

3. Peserta didik dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas.

4. Suasana kelas yang rileks dan menyenangkan.

5. Terjalinya hubungan yang hangat dan bersahabat antara peserta didik dengan guru

6. Memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.

Kelemahan Pembelajaran Kooperatif

Kelemahan model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1. Pendidik harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran, dan waktu.

2. Agar proses pembelajaran berjalan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai.

3. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Saat diskusi kelas, terkadang didominasi seseorang, hal ini mengakibatkan peserta didik yang lain menjadi pasif.

Perkembangan Periode Pra Sekolah

Perkembangan Periode Pra Sekolah

Anak-anak dalam periode pra-sekolah berkisar antara 2 -6 tahun. Pertumbuhan fisik anak-anak melambat sepanjang tahun-tahun prasekolah, tetapi perkembangan psikososial dan kognitif mereka meningkat. Anak mulai mengembangkan rasa minat yang kuat dan mampu berkomunikasi lebih efektif dengan orang lain di sekitarnya. Beberapa orang tua mengalami kesulitan mengartikan bahasa anak-anak mereka dan berkomunikasi dengan mereka. DeLaune dan Ladner (2011) menunjukkan bagaimana anak-anak belajar dan membentuk hubungan dengan orang lain melalui permainan.

 

Tingkah laku anak-anak selama fase ini dapat mengganggu beberapa orang tua; anak-anak tampaknya sengaja membuat orang tua mereka kesal, dan mereka bisa sulit untuk ditangani. Lebih banyak penekanan harus diberikan pada orang tua, karena anak-anak pada usia ini mulai membentuk sikap mereka sendiri. Bahkan jika Sebagian orang tua bingung bagaimana menerapkannya pada anak usia 2-6 tahun, di sinilah orang tua mulai menanamkan nilai dan makna kebaikan dalam diri dan pikiran anak-anaknya.

Perkembangan Fisiologis

Hurlock (2013) menjelaskan bahwa gerak anak usia prasekolah dan penampilannya akan mudah dibedakan dengan anak-anak pada periode sebelumnya. Pada anak usia prasekolah, geraknya umumnya aktif. Karena mereka sudah memiliki penguasaan atau kendali atas tubuh mereka, mereka mulai sangat menikmati aktivitas yang mereka lakukan sendiri. Biasanya kebutuhan istirahat yang cukup setelah anak banyak melakukan aktivitas tetap diperlukan. Pada masa ini anak membutuhkan jadwal aktivitas yang tenang. Dari segi pertumbuhan fisik, otot besar pada anak prasekolah lebih berkembang dari perhatian pada area jari tangan dan jari. Kurangnya kontrol jari dan tangan menyiratkan bahwa anak masih belajar dan tidak dapat menyelesaikan tindakan sulit yang membutuhkan  kemampuan jari dan tangan, seperti mengancingkan pakaian dan mengikat tali sepatu. Secara fisik, anak-anak masih mengalami kesulitan memfokuskan mata mereka pada benda-benda kecil selama era ini karena koordinasi dan kontrol tangan mereka belum sempurna.

 

Tubuh anak masih fleksibel pada usia ini, tetapi otak dilindungi oleh tengkorak yang lunak. Karena sistem otot system muskuloskeletal masih berkembang, anak-anak prasekolah rentan terhadap cedera, terutama ketika mereka terlalu aktif. Kelompok usia ini juga dikenal sebagai Zaman Keemasan, yang mengacu pada semua anak berusia 2 hingga 6 tahun. Kaki dan jari anak sudah mulai lebih kuat dan lebih fleksibel seiring dengan peningkatan kemampuan motorik kasar dan halusnya. Otak, otot, saraf, dan tulang semuanya telah matang dan berkembang ketingkat koordinasi yang tinggi. Hal ini juga tidak lepas dari pemberian nutrisi fisik secara terus menerus kepada anak usia pra sekolah berupa makanan sehat dengan gizi seimbang. Orang tua harus memberikan stimulus gizi psikologis berupa perhatian, inspirasi, dan dukungan semangat kasih sayang untuk mendorong anak bergerak dan belajar.

Perkembangan Psikologis

Perkembangan adalah suatu proses yang berkelanjutan yang membutuhkan stimulasi dan dorongan yang konstan agar kehidupan dapat terus berlanjut. Perkembangan manusia terjadi secara alami karena ia memiliki komponen psikologis yang membantu perkembangannya. Hurlock (2013) menyatakan bahwa komponen kognitif, motorik, dan afektif, sosial, emosional, bahasa, moral, dan agama semuanya berperan dalam perkembangan manusia sejak bayi hingga tua.

Perkembangan kognitif

Perkembangan manusia sebagian besar dipengaruhi oleh faktor kognitif, menurut Piaget. Kognitif adalah kemampuan untuk memahami, mengenali, dan memahami melalui penggunaan pengamatan dan pengamatan. Kemampuan individu untuk mempersepsikan dan mengetahui dirinya dan lingkungannya dalam suatu proses, atau suatu perkembangan pemikiran dan pengenalan individu untuk mengkonstruksi atau mengelola dunia dengan caranya sendiri, disebut sebagai kognitif.

 

Perkembangan kognitif anak-anak berada dalam tahap pra-operasional selama tahun-tahun pra-sekolah. Cara berpikir anak tetap egosentris, dan dia hanya mampu mendekati situasi dari satu perspektif. Anak-anak prasekolah dengan cepat memahami gagasan berhitung dan mulai bermain game atau berfantasi tentangnya. Mereka tidak percaya bahwa pikirannya kuat, imajinasi yang diinduksi oleh pemikiran magis yang membantu anak-anak prasekolah membuat ruang di lingkungan nyata mereka.

 

Dari segi persepsi kognitif pada masa prasekolah antara lain: mulai meniru gambar meskipun dalam bentuk coretan yang tidak sempurna, memainkan peran dengan peran yang realistis, mulai dapat mendengarkan cerita dengan baik, terdapat komentar ketika mendengarkan cerita, dan mulai bisa menghitung dan memberi warna. tepat pada objek gambar.

Perkembangan Sosial

Dalam kontak sosial, inovasi dan daya cipta anak-anak prasekolah tampak sangat tinggi. Anak-anak mudah untuk berteman, tetapi mereka juga mudah bermusuhan dengan teman sebayanya, karena egosentrisitas mereka yang tinggi pada usia ini.

 

Anak-anak mulai menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan diri melalui hubungan dengan orang lain dari keluarga, teman, dan sekolah mereka saat komponen ini berkembang. Pertumbuhan perilaku anak dalam scenario inilah yang penting adalah tumbuhnya tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku dimanapun anak berada dalam keadaan ini.

 

Perkembangan sosial anak prasekolah meliputi:

1.     Mampu membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan teman sebayanya.

2.     Mengamati anak-anak lain dan menjalin persahabatan dengan mereka

3.     Mampu berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana

4.     Kenali pentingnya bergiliran saat bermain dengan teman sebaya.

5.     Mengkomunikasikan ide dan perasaan melalui ekspresi

Perkembangan Emosional

Anak-anak prasekolah cenderung menunjukkan emosi yang intens. Mereka sangat gembira, senang, dan bingung pada satu saat, dan kemudian sangat tidak puas pada saat berikutnya. Imajinasi anak-anak prasekolah sangat jelas, dan kekhawatiran mereka cukup nyata. Mayoritas anak usia ini sudah menguasai pengendalian diri. Mereka dapat menamai emosi mereka sehingga mereka dapat menindaklanjutinya. Tanah liat, permainan air, sketsa atau lukisan, atau permainan dramatis dengan boneka semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan emosi yang kuat.

 

1.     Perkembangan Emosional Anak Prasekolah (3-4 tahun)

Anak-anak dapat mengekspresikan emosi dasar seperti kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, dan kegembiraan melalui bahasa. Meskipun Anda mungkin perlu memberikan banyak pengingat, anak dapat merasa bersalah dan memahami bahwa ia harus meminta maaf jika ia telah melakukan kesalahan. Anak itu murah hati dan menunjukkan bahwa dia mengerti bahwa kita harus berbagi dengan orang lain dalam hidup, tetapi jangan berharap dia melakukannya sepanjang waktu.

2.     Perkembangan Emosional Anak Prasekolah (4-5 tahun)

Anak dapat mengekspresikan emosi yang lebih rumit seperti frustrasi/gagal, jengkel, dan malu menggunakan bahasa. Jika seorang anak merasa bersalah, malu, atau takut, ia dapat menyembunyikan kebenaran tentang sesuatu.

3.     Perkembangan emosi anak prasekolah (5 tahun)

Anak-anak menjadi lebih sadar akan perasaan mereka terhadap orang lain dan bertindak berdasarkan perasaan itu, seperti bersikap ramah kepada teman dan keluarga dan ingin lebih banyak membantu Anda. Untuk menghindari masalah, anak-anak akan melakukan segala upaya untuk mengikuti aturan

Perkembangan Bahasa

Bahasa adalah alat yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan internal seperti pikiran dan perasaan. Bahasa juga merupakan ciri dan indicator kemampuan seseorang untuk menerima atau menolak informasi atau isyarat dari orang lain.

 

Teori bahasa Wundt menyatakan bahwa gerak fisik merupakan ekspresi dari gerak psikis (Baraja, 2005: 179). Antara fenomena mental dan fisik, ada hubungan serupa. Tujuan dan tuntutan psikologis seseorang dapat terlihat dari ekspresi wajah dan perilakunya. Menurut hipotesis ini,perkembangan bahasa anak-anak prasekolah dapat dibagi menjadi dua tahap:

 

Tahap Pertama (2.0-2.6), yang didefinisikan sebagai berikut:

1.     Anak mampu menyusun kalimat tunggal tanpa cela.

2.     Anak sudah mulai memahami konsep perbandingan.

3.     Anak memiliki banyak pertanyaan tentang nama dan tempat, seperti apa, dari mana, dan dari mana asalnya.

4.     Anak-anak telah menggunakan banyak kata awal dan akhir.

 

Tahap kedua (2,6-6,0) didefinisikan sebagai berikut:

1.     Anak dapat memahami dan menggunakan frasa majemuk dan klausa bawahan.

2.     Tingkat berpikir anak telah meningkat, dan dia banyak mengajukan pertanyaan sebab akibat waktu dalam bentuk pertanyaan kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana.

Perkembangan Moral

Anak-anak prasekolah mulai memahami konsep baik dan salah, serta perkembangan hati nurani. Selama tahun prasekolah, suara-suara batin yang memperingatkan atau mengancam muncul. Kohlberg menyebut periode ini, yang terjadi antara usia 2 dan 7 tahun, tahap prakonvensional, karena ditandai dengan sikap hukuman dan kepatuhan (Kohlberg, 1984). Perkembangan moral dan spiritual anak prasekolah meliputi:

1.     Anak akan merasa bersalah dan sebagai akibatnya mengembangkan hati nuraninya.

2.     Anak prasekolah akan bersikap hormat dan patuh pada otoritas orang tuanya.

3.     Anak akan belajar bagaimana mengelola amarahnya.

4.     Anak prasekolah selalu berfantasi dan berimajinasi

5.     Anak akan memperoleh rasa moralitas, atau nilai-nilai yang memandu bagaimana dia memperlakukan orang lain dan memandang keadilan.

 

Perkembangan moral anak prasekolah berada pada tingkat yang paling dasar, yang disebut dengan moralitas pra-konvensional. Anak mempersepsikan moralitas pada tahap ini tergantung pada dampak dari suatu kegiatan,seperti menyenangkan (reward), menyakitkan (punishment), dan sebagainya (punishment). Karena mereka takut dihukum oleh pihak berwenang, anak-anak tidak melanggar aturan. Akibatnya, sangat penting untuk memiliki orientasi kepatuhan pada tahap ini, dan otoritas menentukan konsep anak tentang hukuman yang baik dan buruk. Tujuan dari mengikuti peraturan adalah untuk menghindari hukuman dari pihak yang berwenang. Akibatnya, dalam penyelidikan psikologis, Kohlberg mengklasifikasikan moral sebagai fenomena kognitif. Sudut pandang moralnya merupakan bagian dari penalarannya (Desmita, 2016: 262).