Perkembangan Masa Dewasa Madya (Menengah) (40-60 Tahun)

Perkembangan Masa Dewasa Madya (Menengah) (40-60 Tahun)


Periode dewasa madya (menengah) berlangsung antara usia 40 sampai dengan usia 60 tahun (Hurlock, 2007). Masa tersebut ditandai oleh adanya perubahan fisik, mental serta perubahan minat (Hurlock,1980). Erickson (dalam Santrock, 2002) mengungkapkan bahwa pada periode dewasa madya terjadi masa kritis dalam penentuan dominasi antara kecenderungan untuk menghasilkan atau kecenderungan untuk menetap. Penentuan dominasi tersebut sebagai pilihan bagi dewasa madya untuk hidup dengan lebih sukses atau berhenti dan tidak melakukan sesuatu lagi. Periode dewasa madya sendiri merupakan bagian dalam rentang kehidupan Individu sebagai seorang dewasa. Terdapat 3 pembagian rentangan dewasa sebagai berikut menurut Hurlock (2007), yaitu: 1) Periode Dewasa Awal; 2) Periode Dewasa Madya (menengah); dan 3) Periode Dewasa Lanjut (akhir)

A. Karakteristik Dewasa Madya

Seperti periode-periode sebelumnya yang memiliki karakteristik pembeda dari periode lain, begitu pula dengan periode dewasa madya. Berikut karakteristik periode dewasa madya (Hurlock, 2007).

1. Periode yang ditakuti

Periode dewasa madya menjadi periode yang ditakuti karena periode ini merupakan periode transisi dari dewasa menuju lansia. Transisi yang terjadi dari berbagai aspek seperti fisik yang mulai melemah serta perubahan tampilan wajah dan kulit yang berkeriput. Selain itu, pada masa ini juga dibayang-bayangi dengan masa pensiun yang sebentar lagi akan mereka jumpai, sehingga ketakutan-ketakutan akan periode selanjutnya semakin timbul di periode ini.

2. Masa transisi

Periode dewasa madya dikatakan sebagai masa transisi karena pada usia ini Individu akan mulai belajar untuk mempersiapkan dirinya menjadi orangtua yang sesungguhnya. Pada periode ini Individu akan disibukkan dengan penentuan kehidupannya di masa tua kelak. Masa transisi juga menjadi sebutan pada periode ini karena seperti halnya periode remaja menuju dewasa dimana Individu tidak lagi menjadi seorang anak namun belum dewasa. Begitu pula dengan dewasa madya, satu sisi Individu pada periode ini belum tua, namun tidak pula bisa dikatakan muda.

3. Masa stress

Berbagai macam urusan dan permasalahan semakin bermunculan pada periode ini. Singgungan dengan dunia kerja yang semakin kompleks, serta urusan rumah tangga dan masyarakat yang juga tak kalah saing untuk dipikirkan tidak jarang membuat Individu pada periode ini lebih rentan stress. Oleh karena itu, pada periode ini juga disebut sebagai masa setres.

4. Usia berbahaya

Pada dasarnya, seperti yang dijelaskan dalam prinsip-prinsip perkembangan bahwa setiap periode mengandung bahaya potensial, maka periode dewasa madya juga tidak lepas dari bahaya. Bahaya yang dialami di periode madya ini adalah karena permasalahan hidup yang semakin banyak dialami pada periode ini.

5. Usia canggung

Pada usia dewasa madya, individu tidak bisa lagi dikatakan muda, namun belum juga terlihat “tua”. Kondisi yang membingungkan inilah yang membuat periode dewasa madya disebut sebagai usia canggung.

6. Masa berprestasi

Sejalan dengan masa produktif dewasa madya yang menjadi puncak titik karir, periode madya menjadi masa kriris. Erickson (Hurlock, 1980) menjelaskan bahwa dewasa madya berada dalam masa generative (cenderung menghasilkan) vs stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti). Penentuan dominasi pada periode ini sangat menentukan kesuksesan dan pencapaian prestasi Individu. Ketika Individu berusaha untuk menjadi lebih generative, maka Ia akan mencapai kesuksesan pada tingkat puncak, namun apabila Ia memilih untuk berada pada masa stagnasi Ia harus bersiap dengan kegagalannya.

7. Masa evaluasi dengan Standar Ganda

Standar ganda yang dimaksud disini bahwa dewasa madya dilihat dari sisi dewasa dan juga dari usia tua. Aspek yang dilihat adalah dari fisik dan juga sikap. Aspek perubahan jasmani yang terjadi pada dewasa madya yaitu, rambut menjadi putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur. Secara sikap, dewasa madya tetap merasa dirinya muda dan ingin menua dengan anggun, lambat serta hati-hati agar hidup dengan lebih nyaman.

8. Masa sepi

Periode dewasa madya adalah saat Individu mengalami kesepian, kesepian ini terjadi karena anak-anak mereka sudah tidak tinggal lagi dengan mereka. Namun, kasus ini tidak terjadi pada Individu yang menunda kelahiran anak atau menikah lebih lambat, sehingga saat berada di dewasa madya, anak-anak mereka masih berada pada usia sekolah dan tinggal Bersama. Kasus kesepian ini juga tidak terjadi jika anak-anak yang telah menikah memilih untuk tinggal Bersama orangtuanya.

9. Masa jenuh

Kejenuhan yang menimpa dewasa madya terjadi karena rutinitas berulang yang dilakukan selama hidup. Sebagai contoh, jika Individu bekerja sejak usia 25 tahun dan menjalani aktivitas yang sama berulang kali selama 20 tahun maka kejenuhan akan timbul. Oleh karena itu, menjadwalkan liburan, mencari pengalaman baru atau menjalani hobi baru juga patut dicoba untuk menghindari kejenuhan.

B. Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Seperti pada tahapan usia lainnya, Periode Dewasa Madya juga tidak luput dari tugas perkembanga. Tugas perkembangan adalah serangkaian tugas atau capaian yang harus diperoleh Individu dalam kurun waktu tertentu. Menurut Hurlock (2007), terdapat 7 tugas perkembangan yang harus dipenuhi Individu pada periode dewasa madya yaitu sebagai berikut.

1. Melakukan penerimaan penyesuaian diri terhadap kondisi fisik yang telah berubah.

2. Membuat pandangan-pandangan hidup dan menghubungkannya dengan diri sendiri untuk menjadi pribadi yang utuh.

3. Mengasuh serta membantu remaja untuk menjadi dewasa yang bertanggung jawab dan Bahagia.

4. Mencapai serta mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam pekerjaan.

5. Melakukan pengembangan diri dengan melakukan kegiatankegiatan bermanfaat di waktu senggang.

6. Melakukan tugasnya sebagai warga negara secara penuh dengan memenuhi tanggungjawab sosial.

C. Perkembangan dan Perubahan Pada Periode Dewasa Madya

1. Aspek Biologis

Perubahan yang paling mencolok terjadi pada periode dewasa madya adalah perubahan biologis. Penglihatan dan pendengaran menjadi sisi perubahan yang paling mudah untuk dilihat dan diamati. Pada rentang usia 45 sampai dengan 55 tahun pada umumnya penglihatan akan kabur (baik rabun jauh maupun dekat) dan pendengan juga berangsur menurun. Perubahan bilogis lainnya yang terjadi adalah penurunan kemampuan reproduksi, terutama pada kaum Wanita. Pada dewasa madya, umumnya Wanita akan mengalami menopause. Menopause sendiri merupakan kondisi terhentinya kemampuan reproduksi yang ditandai oleh terhentinya siklus menstruasi. Satu sisi menopause dapat menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan, namun satu sisi juga membuat Wanita lebih tenang karena tidak memikirkan soal resiko kehamilan lagi.

2. Aspek Kognitif

Selain perubahan biologis, perubahan yang terjadi pada dewasa madya lainnya adalah perubahan kemampuan kognitifnya. Kemunduran kemampuan kognitif terutama daya ingat Individu pada periode ini terkadang sulit untuk dihindari. Kemunduran daya ingat ini juga terjadi karena informasi-informasi yang diperoleh terkadang tidak digunakan secara berulang sehingga mudah dilupakan.

3. Aspek Karir dan Pekerjaan

Pada periode dewasa madya pada umumnya Individu telah mencapai tingkat tertinggi dalam karirnya. Ada beberapa anggapan bahwa untuk melihat kesuksesan seseorang dalam karir dan pekerjaannya maka lihatlah Ia pada usia 40 tahun ke atas. Artinya, pada periode dewasa madya ini merupakan penentu kehidupan karir dan pekerjaan Individu, Pada usia Individu telah menemukan bidang pekerjaan yang sifatnya menetap. Sangat jarang terjadi, terdapat Individu yang masih berpindah-pindah pekerjaan pada usia ini karena beragai macam pertimbangan.

4. Aspek Psikososial

    Pada periode dewasa madya, dunia sosial Individu lebih luas dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kehidupan yang lebih luas dengan lebih banyak orang yang dijumpai semakin meningkatkan kemampuan Individu dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Terkadang terdapat perbedaan pola pikir antara orang dewasa dengan dewasa madya. Hal ini terjadi karena pada dewasa madya telah mengalami berbagai macam peristiwa kehidupan yang terhubung dengan keluarga dan pekerjaannya.

Perkembangan Masa Masa Remaja (12-20 Tahun)

Perkembangan Masa Masa Remaja (12-20 Tahun)

 

Remaja atau adolescence diambil dari bahasa latin yang memiliki arti tumbuh menjadi dewasa (Sari, 2017). Masa remaja merupakan masa dimana anak-anak mengalami transisi. Banyak perubahan yang terjadi di periode ini, mulai dari hormonal, sosial, fisik, dan juga psikologis (Pediatri, 2010). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dimana sebelumnya berada di masa kanak-kanak hingga tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Perkembangan yang dimaksud meliputi aspek fisik atau tubuh, aspek kejiwaan atau psikologis serta kondisi hormon dalam dirinya.

 

Masa remaja adalah masa yang terbilang sulit bagi remaja sendiri, dan juga orangtuanya. Kesulitan tersebut disebabkan oleh fenomena dari remaja sendiri dengan disertai beberapa perilaku khusus, yakni (Putro, 2017):

1. Periode remaja mulai untuk menyuarakan kebebasan serta haknya terhadap pendapatnya.

2. Periode remaja akan lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar, terutama oleh teman-teman sebayanya jika dibandingkan pada saat mereka masih pada masa kanak-kanak.

3. Terjadinya perubahan fisik yang cepat dan pesat, mulai dari tumbuh kembangnya hingga seksualitasnya.

4. Periode remaja memiliki kepercayaan diri yang tinggi (over confidence). Kepercayaan diri ini akan meningkat bersama dengan emosinya sehingga akan mengalami kesulitan dalam menerima nasihat atau pengarahan dari orang lain, tak terkecuali orangtua.

 

Berdasarkan pada beberapa pernyataan diatas, pada masa remaja, perubahan yang terjadi dirasa cukup signifikan dimana perubahan ini berbeda dari saat periode kanak-kanak. masa remaja adalah periode yang sangat penting, periode terjadinya peralihan dan perubahan dimana terdapat ciri-ciri perkembangan yang terjadi di masa ini. Tak hanya itu, pada masa remaja ini merupakan usia krusial yang terdapat banyak sekali kendala dan permasalahan, dimana remaja mulai mencari jati diri dan identitasnya. Di tahap ini, remaja mulai merasakan ketakutan dan sebagai ambang menuju masa dewasa. Perubahan yang signifikan ini alih-alih memberikan dampak pada remaja itu sendiri, tak terkecuali memberikan dampak negative berupa masa masa sulit bagi remaja itu sendiri. Kesulitan dan kendala itu berupa, periode remaja mulai untuk menginginkan kebebasan, mudah terpengaruh lingkungan sekitar, perubahan fisik yang cepat, kepercayaan diri yang mulai bertumbuh dan tinggi.

A. Fase dan Tugas Perkembangan Remaja

Tiap – tiap individu memiliki peran serta tugasnya tersendiri yang sesuai dengan tahapan usianya, baik dari kanak-kanak maupun dewasa. Dalam mencukupi tugas-tugasnya setiap individu memiliki tujuan untuk mencapai dan mencukupi kebutuhan individu itu sendiri (Sebayang, 2018). Terutama saat remaja, dimana masa ini adalah masa perubahan, dari seorang anak hingga akhirnya menjadi orang dewasa. Sehingga, remaja dapat dikelompokkan menjadi berbagai tahapan seperti berikut (Diananda, 2018):

1.  Pra Remaja (11 atau 12 – 13 atau 14 Tahun)

Usia tersebut sering disebut dengan fase negatif. Dikarenakan berkembangnya hormonal yang menyebabkan perubahan yang tidak terduga pada suasana hati seperti gelisah, bingung, takut dan cemas. Pada usia ini juga remaja mempunyai karakteristik untuk ingin bebas, memperhatikan tubuhnya dan lebih dekat dengan teman sebaya. Pada pra remaja ini akan mengalami perubahan fisik yang sangat pesat, seperti tinggi badan, berat badan dan perubahan pada bentuk fisik (Knoer, 2006). Maka dari itu tugas perkembangan pada usia ini yaitu menerima kondisi fisik dirinya sendiri serta efektifkan dalam menggunakan bagian tubuhnya.

2. Remaja Awal (13 atau 14 – 17 Tahun)

Usia tersebut seorang remaja mengalami perubahan fisik, sikap dan perilaku yang sangat pesat yang menyebabkan remaja memiliki banyak impian dan fokus pada dirinya (Octavia, 2020). Tugas perkembangan pada usia ini yaitu bersosialisasi, meningkatkan kemandirian dan pengawasan dari orang tua.

3. Remaja Lanjut (17 – 20 atau 21 Tahun)

Usia tersebut remaja cenderung ingin menunjukkan diri, selalu ingin menjadi pusat perhatian, memiliki banyak energi, dan bersemangat. Namun berlangsung dalam waktu singkat. Maka dari itu tugas perkembangan pada usia ini yaitu membuat pribadi lebih bertanggung jawab, meningkatkan kemandirian dan membuat dirinya di terima oleh masyarakat (Knoer, 2006).

 

Dari penjelasan diatas mengenai fase remaja maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga fase remaja yaitu fase pra remaja, remaja awal dan remaja lanjut, dimana pada fase-fase tersebut remaja mengalami perubahan pada fisik, psikis dan psikososial.

C. Aspek - Aspek Perkembangan Remaja

Di masa perkembangan remaja, terdapat beberapa aspek yang terlihat sangat menonjol perkembangannya. Antara lain adalah (Fatmawaty, 2017) :

1. Perkembangan Fisik

Periode remaja merupakan salah satu periode terpenting dalam rentang kehidupan individu karena periode ini sangat menentukan kehidupan individu di periode dewasa. Perubahan-perubahan pada periode remaja ini sulit untuk dihindari dan fisik merupakan aspek yang berubah dengan mencolok pada periode ini. Syamsu Yusuf (2005) menerangkan pada periode remaja awal fisik individu berkembang dengan pesat namun belum mencapai ukuran proporsional, sedangkan mendekati remaja akhir ukuran tubuh remaja sudah menyerupai individu dewasa. Periode remaja juga disebut dengan periode pubertas yang berkaitan dengan fungsi organ seksual individu yang telah matang. Berhubungan dengan kondisi tersebut maka pada periode remaja ini, terdapat dua ciri fisik pada remaja yang perlu dikenali dan dijelaskan sebagai berikut.

a. Ciri Seksual Primer Remaja

Ciri seksual primer merupakan perubahan utama pada remaja yang menunjukkan bahwa secara fisik mereka telah siap dan mampu untuk bereproduksi. Pada remaja laki-laki, ciri seks primer ini ditunjukkan dengan terjadinya “mimpi basah” yaitu keluarnya sperma dari penis. Kondisi tersebut terjadi dalam rentang usia yang bervariasi, namun pada umumnya berlangsung pada usia 14 – 15 tahun. Mimpi basah terjadi karena organ reproduksinya yaitu testis telah matang. Testis sendiri merupakan organ yang berfungsi untuk memproduksi sperma dan hormone testosteron.

Pada remaja perempuan, ciri seks primer ditunjukkan dengan terjadinya menstruasi yaitu keluarnya darah dari vagina. Menstruasi pertama perempuan ini dikenal dengan nama menarche. Menstruasi sendiri terjadi sebagai tanda bahwa sel telur telah matang dan siap dibuahi. Perempuan mengalami menstruasi pertama dalam usia yang beragam antara 12-15 tahun namun ada beberapa individu yang mengalaminya lebih awal atau lebih lambat. Perempuan mengalami menstruasi setiap bulannya meski setiap individu memiliki waktu (siklus) yang berbeda. Siklus menstruasi terjadi ketika ada sel telur yang matang dan melepaskan diri dari ovarium dan menempel pada dinding rahim, apabila tidak dibuahi maka terjadilah peluruhan dinding rahim tersebut yang dinamakan menstruasi.

b. Ciri Seksual Sekunder Remaja

Perubahan seksual sekunder adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada fisik remaja sebagai pelengkap atas kematangan reproduksinya. Perubahan yang terjadi tersebut semakin menampakkan diri remaja menyerupai laki-laki dan perempuan dewasa. Perubahan seksual laki-laki yang Nampak seperti timbulnya jakun pada leher, tumbuhnya rambut-rambut halus pada bagian wajah serta bagian-bagian tubuh lain seperti ketiak, kelamin dan dada. Selain itu, perubahan seksual sekunder pada laki-laki juga Nampak pada pertambahan ukuran kelaminnya dan semakin bidangnya dada remaja. Perubahan seksual sekunder perempuan antara lain pertumbuhan payudara, pinggul yang melebar, serta timbulnya rambu-rambut halus di ketiak dan kelamin.

Selain dari perubahan fisik yang terjadi karena kematangan organ reproduksi, perubahan fisik remaja terjadi karena adanya perubahan hormone dalam tubuhnya. Perubahan hormone tersebut dapat menyebabnya berubahnya kondisi kulit terutama wajah sehingga muncul jerawat atau masalah-masalah kulit lainnya.

2. Perkembangan Kognisi

Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, individu pada periode remaja telah mencapai perkembangan pada Tingkat perkembangan operasional formal. Tahap tersebut dapat digambarkan dengan ciri sebagai berikut. 

1) Kemampuan dalam memahami hal-hal abstrak lebih meningkat. Penalaran lebih mengarah pada deduktif hipotesis serta berpikir secara lebih proporsional; 

2) Tingkat kepercayaan pada kejadian-kejadian dalam dongeng berangsur menurun sampai usia dewasa; 

3) Pemikiran lebih bersifat logis serta mampu mengevaluasi dengan lebih baik.

3. Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial merupakan perubahan yang terjadi antara individu dengan lingkungannya. Pada aspek ini melihat individu bersikap dan berinteraksi dengan lawan bicaranya serta membangun hubungan dalam kelompok. Jika pada periode sebelumnya hubungan sosial individu masih terbatas ruang lingkupnya, maka pada periode ini hubungan sosial yang dibangun semakin intens dan mendalam. Perubahan tersebut terjadi bukan karena alasan, melainkan karena bertambahnya kemampuan individu dalam memahami emosi serta meningkatnya kemampuan berpikir. Berikut gambaran tentang perkembangan sosial remaja. 

1) Hubungan sosial yang dibangun pada periode remaja ini berlangsung lebih intim karena emosional yang terlibat lebih dalam. 

2) Jaringan sosial semakin meluas, semakin banyak orang yang dikenal dan jenis hubungan semakin beragam; 

3) Berusaha untuk menyelesaikan Krisis dalam dirinya, yaitu krisis antara identitas vs kekaburan, sehingga pada periode ini individu akan berusaha untuk bisa menjadi pribadi yang unik dan menemukan jawaban tentang “siapa saya”.

4. Perkembangan Emosi

Para remaja kerap menggunakan cara mencontoh kepada orang-orang yang mereka anggap sebagai idola. Kehidupan sosial seorang anak remaja pun berkembang sangat luas dan berakibat remaja menjadi berusaha melepaskan diri dan terbebas dari aturan-aturan orang tua (Ahyani & Astuti, 2018).

Perkembangan emosi pada periode remaja ditunjukkan dengan ciri sebagai berikut.

1)  Memiliki kapasitas untuk mengembangkan hubungan jangka panjang yang sehat dan berbalas; 

2) Mampu memahami diri sendiri serta mampu menganalisis penyebab timbulnya perasaan tersebut; 

3) Lebih memandang individu dari sisi kepribadiannya, bukan lagi pada sisi penampilannya; 

4) Kemampuan untuk mengelola emosi lebih meningkat; 

5) Jenis kelamin berperan penting dalam mengendalikan emosi individu.

 

Dapat disimpulkan bahwa pada masa remaja, terdapat beberapa aspek yang ada dalam diri remaja. Aspek-aspek ini menonjol dalam perkembangannya dan berkaitan satu dengan yang lainnya. Beberapa aspek yang ada adalah perkembangan fisik, perkembangan kognisi, emosi, dan sosial.

Perkembangan Masa Anak-Anak Pertengahan (3-7 tahun)

Perkembangan masa anak-anak pertengahan (3-7 tahun)

A. Perkembangan fisik masa anak-anak pertengahan

Hurlock (2013) menjelaskan bahwa gerak anak usia pertengahan dan penampilannya akan mudah dibedakan dengan anak-anak pada periode sebelumnya. Pada anak usia usia pertengahan, geraknya umumnya aktif. Karena mereka sudah memiliki penguasaan atau kendali atas tubuh mereka, mereka mulai sangat menikmati aktivitas yang mereka lakukan sendiri. Biasanya kebutuhan istirahat yang cukup setelah anak banyak melakukan aktivitas tidak lupa dilakukan. Pada masa ini anak membutuhkan jadwal aktivitas yang tenang. Dari segi pertumbuhan fisik, otot besar pada anak usia pertengahan lebih berkembang dari perhatian pada area jari tangan dan jari kaki. Kurangnya kontrol jari dan tangan menyiratkan bahwa anak masih belajar dan tidak dapat menyelesaikan tindakan sulit yang membutuhkan kemampuan jari dan tangan, seperti mengancingkan pakaian dan mengikat tali sepatu. Secara fisik, anak-anak masih mengalami kesulitan memfokuskan mata mereka pada benda-benda kecil selama era ini karena koordinasi dan kontrol tangan mereka belum sempurna.

 

Tubuh anak masih fleksibel pada usia ini, otak dilindungi oleh tengkorak yang lunak. Karena sistem otot system muskuloskeletal masih berkembang, anak-anak usia pertengahan rentan terhadap cedera, terutama ketika mereka terlalu aktif. Kelompok usia ini juga dikenal sebagai Zaman Keemasan, yang mengacu pada semua anak muda berusia 2 hingga 6 tahun. Kaki dan jari anak sudah mulai lebih kuat dan lebih fleksibel seiring dengan peningkatan kemampuan motorik kasar dan halusnya. Otak, otot, saraf, dan tulang semuanya telah matang dan berkembang ke tingkat koordinasi yang tinggi. Hal ini juga tidak lepas dari pemberian nutrisi fisik secara terus menerus kepada anak usia pertengahan berupa makanan sehat dengan gizi seimbang. Orang tua harus memberikan stimulus gizi psikologis berupa perhatian, inspirasi, dan dukungan semangat kasih sayang untuk mendorong anak bergerak dan belajar.

 

Dari perkembangan motorik kasarnya, kita dapat mengetahui bahwa anak-anak telah melakukan berbagai aktivitas dengan gerakan cepat, seperti berjalan, berlari, memanjat, dan duduk, sementara beberapa anak masih perlu melatih keseimbangannya. Hal ini terutama disebabkan oleh perubahan kecil dalam perkembangan otak, yang mengontrol keseimbangan tubuh manusia. Karena perkembangan motorik halus, kelenturan, dan kelenturan jari dan tangan, anak dapat memegang dengan kuat, mengambil benda-benda kecil, menangani alat tulis dengan baik, menulis kata atau gambar, dan sebagainya.

B. Perkembangan kognitif masa anak-anak pertengahan

Perkembangan manusia sebagian besar dipengaruhi oleh faktor kognitif, menurut Piaget. Kognitif adalah kemampuan untuk memahami, mengenali, dan memahami melalui penggunaan pengamatan dan pengamatan. Kemampuan individu untuk mempersepsikan dan mengetahui dirinya dan lingkungannya dalam suatu proses, atau suatu perkembangan pemikiran dan pengenalan individu untuk mengkonstruksi atau mengelola dunia dengan caranya sendiri, disebut sebagai kognitif.

 

Perkembangan kognitif anak-anak berada dalam tahap pra-operasional selama tahun-tahun pra-sekolah. Cara berpikir anak tetap egosentris, dan dia hanya mampu mendekati situasi dari satu perspektif. Anak-anak usia pertengahan dengan cepat memahami gagasan berhitung dan mulai bermain game atau berfantasi tentangnya. Mereka tidak percaya bahwa pikirannya kuat, imajinasi yang diinduksi oleh pemikiran magis yang membantu anak-anak usia pertengahan membuat ruang di lingkungan nyata mereka.

 

Dari segi persepsi kognitif pada masa usia pertengahan antara lain: mulai meniru gambar meskipun dalam bentuk coretan yang tidak sempurna, memainkan peran dengan peran yang realistis, mulai dapat mendengarkan cerita dengan baik, terdapat komentar ketika mendengarkan cerita, dan mulai bisa menghitung dan memberi warna tepat pada objek gambar.

C. Perkembangan sosioemosi anak-anak pertengahan

Perkembangan Sosial

Menurut Erikson, anak-anak usia pertengahan berada dalam tahap perkembangan sosial Inisiatif versus Rasa Bersalah.  Benda-benda di sekitarnya akan menjadi mainan dalam mengisi kegiatan sehari-harinya selama ini, karena anak akan sangat aktif dan banyak mengajukan pertanyaan kritis. Dalam kontak sosial, inovasi dan daya cipta anak-anak usia pertengahan tampak sangat tinggi. Anak-anak mudah untuk berteman, tetapi mereka juga mudah bermusuhan dengan teman sebayanya, karena egosentrisitas mereka yang tinggi pada usia ini.

 

Anak-anak mulai menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan diri melalui hubungan dengan orang lain dari keluarga, teman, dan sekolah mereka saat komponen ini berkembang. Pertumbuhan perilaku anak dalam scenario inilah yang penting adalah tumbuhnya tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku dimanapun anak berada dalam keadaan ini.

 

Perkembangan sosial ini berasal dari kombinasi kematangan dan kesempatan belajar yang dihasilkan dari respon yang bervariasi terhadap anak di lingkungan. Anak-anak sering dianggap keras kepala sebagai akibat dari perkembangan ini karena mereka sudah mulai mendefinisikan identitas mereka dan selalu bersemangat untuk menunjukkan kemauan dan kemampuan mereka dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Perkembangan sosial anak usia pertengahan meliputi:

1.     Mampu membantu dan berpartisipasi dalam kegiatan teman sebayanya.

2.     Mengamati anak-anak lain dan menjalin persahabatan dengan mereka

3.     Mampu berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana

4.     Kenali pentingnya bergiliran saat bermain dengan teman sebaya.

5.     Mengkomunikasikan ide dan perasaan melalui ekspresi

Perkembangan Emosi

Anak-anak usia pertengahan cenderung menunjukkan emosi yang intens. Mereka sangat gembira, senang, dan bingung pada satu saat, dan kemudian sangat tidak puas pada saat berikutnya. Imajinasi anak-anak usia pertengahan sangat jelas, dan kekhawatiran mereka cukup nyata. Mayoritas anak usia ini sudah menguasai pengendalian diri. Mereka dapat menamai emosi mereka sehingga mereka dapat menindaklanjutinya. Tanah liat, permainan air, sketsa atau lukisan, atau permainan dramatis dengan boneka semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan emosi yang kuat. Anak-anak usia pertengahan sedang membentuk rasa diri mereka, menyadari apakah mereka laki-laki atau perempuan. Mereka sadar bahwa mereka adalah anggota keluarga, komunitas, atau budaya tertentu (Kyle, 2012).

1.     Perkembangan Emosional Anak Usia pertengahan (3-4 tahun)

Anak-anak dapat mengekspresikan emosi dasar seperti kesedihan, kebahagiaan, kemarahan, dan kegembiraan melalui bahasa. Meskipun Anda mungkin perlu memberikan banyak pengingat, anak usia itu dapat merasa bersalah dan memahami bahwa ia harus meminta maaf jika ia telah melakukan kesalahan. Anak usia ini murah hati dan menunjukkan bahwa dia mengerti bahwa kita harus berbagi dengan orang lain dalam hidup, tetapi jangan berharap dia melakukannya sepanjang waktu.

2.     Perkembangan Emosional Anak Usia pertengahan (4-5 tahun)

Anak dapat mengekspresikan emosi yang lebih rumit seperti frustrasi/gagal, jengkel, dan malu menggunakan bahasa. Jika seorang anak merasa bersalah, malu, atau takut, ia dapat menyembunyikan kebenaran tentang sesuatu. Anak-anak memiliki lebih sedikit kemarahan dan lebih baik dalam mengelola emosi yang intens seperti kemarahan, ketidaksabaran, dan kekecewaan.

3.     Perkembangan emosi anak usia pertengahan (5 tahun lebih)

   Anak-anak menjadi lebih sadar akan perasaan mereka terhadap orang lain dan bertindak berdasarkan perasaan itu, seperti bersikap ramah kepada teman dan keluarga dan ingin lebih banyak membantu Anda. Untuk menghindari masalah, anak-anak akan melakukan segala upaya untuk mengikuti aturan (Pemerintah Negara Bagian Victoria, 2018).

Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning

Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning

A. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning

Secara bahasa, discovery leaning memiliki arti penemuan. Model pembelajaran ini lebih menekankan pentingnya memahami struktur atau gagasan penting suatu disiplin ilmu melalui keterlibatan murid di dalamnya.

Proses pembelajaran discovery learning tidak mengharuskan guru menyajikan materi pelajaran dalam bentuk utuh dari awal sampai akhir. Namun, guru disarankan untuk menyajikan sebagian materi pembelajaran saja, kemudian sisanya dibebankan kepada murid untuk menganalisis sendiri materinya.

 

Menurut Sari, dkk. dalam (Dari & Ahmad, 2020) model Discovery Learning adalah kerangka pembelajaran konseptual dengan prinsip materi dan bahan ajar yang harus dicapai oleh peserta didik tidak disampaikan secara utuh melainkan siswa dituntut untuk dapat mengidentifikasi apa yang ingin diketahui, mencari informasi dan materi secara mandiri, serta mengorganisasikan apa yang telah diketahui menjadi suatu bentuk akhir.

 

Juhri (2020) Discovery Learning adalah model pembelajaran yang dapat memecahkan masalah yang akan bermanfaat bagi anak didik dalam menghadapi kehidupan di masa mendatang.

 

Rozhana dan Harnanik dalam (Dari & Ahmad, 2020) mengemukakan bahwa model discovery learning adalah model pembelajaran yang mengedepankan pengembangan berpikir peserta didik dalam memecahkan suatu masalah dan juga menekankan pada kemampuan peserta didik dalam mencari ide-ide baru dalam kegiatan pembelajaran.

 

Jadi, model pembelajaran Discovery Learning pada intinya adalah model pembelajaran yang menuntut siswa untuk dapat berpikir kritis dalam memecahkan masalah, berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran, mandiri dalam mencari atau menemukan materi, dan dapat mengembangkan kretivitas yang dimiliki sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator pada kegiatan pembelajaran. Dalam penerapan model Discovery Learning, guru hanya sebagai fasilitator bukan bersifat teacher centered dan siswalah yang berperan

B. Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning

Tiga ciri utama belajar dengan Model pembelajaran Discovery Based Learning yaitu:

1. Mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan;

2. Berpusat pada peserta didik;

3. Kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

 

Dalam aplikasi model pembelajaran Discovery Based Learning menempatkan guru sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara aktif, membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar peserta didik sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti inilah yang ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented (Sardiman, 2005).

C. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning

Adapun langkah-langkah model Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning adalah sebagai berikut.

1. Stimulus

Langkah pertama dalam pelaksanaan pembelajaran discovery learning adalah stimulus. Pada tahapan ini guru akan memberikan beberapa pertanyaan untuk memancing rasa penasaran dan ketertarikan peserta didik. Selain itu, guru memberikan anjuran untuk membaca buku dan kegiatan belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.

2. Identifikasi masalah

Tahapan kedua adalah identifikasi masalah di mana guru memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi masalah yang menjadi bahan pembelajaran. Selanjutnya peserta didik membuat hipotesis atau pertanyaan masalah yang sifatnya sementara pada awal pembelajaran.

3. Pengumpulan data

Hipotesis telah tersusun, maka peserta didik bisa mulai mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan untuk menjawab hipotesis.

4. Olah data

Data dan informasi telah terkumpul, maka peserta selanjutnya peserta didik mulai menganalisis dan mengolah data.

5. Pembuktian

Hasil dari pengolahan data kemudian dilakukan pengecekan dan pemeriksaan secara cermat. Lalu peserta didik bisa menghubungkan dengan hipotesis awal. Apakah hipotesis telah sesuai dengan data temuan? Atau sebaliknya, ditemukan jawaban lain.

6.     Generalisasi

Tahapan terakhir adalah generalisasi. Peserta didik menarik kesimpulan dan bisa dijadikan prinsip umum pada semua kejadian atau masalah yang sama.

D. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Penemuan Atau Discovery Based Learning

Kelebihan Discovery Based Learning

1.     Mendorong partisipasi aktif dan motivasi peserta

2.     Pembelajaran sesuai dengan kapasitas dan kecepatan peserta didik

3.     Mengedepankan kemandirian dan kreativitas peserta

4.     Menekankan pembelajaran pada proses, bukan hasil

Kekurangan Discovery Based Learning

1. Discovery learning membutuhkan alat praktik yang sering kali tidak tersedia. Keterbatasan alat praktik membuat pelaksanaan discovery learning terhambat.

2. Guru perlu dipersiapkan dengan baik dan mengantisipasi pertanyaan yang mungkin mereka terima, dan mampu memberikan jawaban atau pedoman yang benar.

3. Ada kritik yang menyebutkan bahwa proses dalam model discovery learning terlalu mementingkan proses pemahaman. Ada aspek lain yang kurang menjadi perhatian, yakni perkembangan sikap dan keterampilan siswa.

Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem based Learning (PBL)

Model Pembelajaran Berbasis Masalah Atau Problem Based Learning (PBL)

A. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah Atau Problem Based Learning (PBL)

Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan.

Menurut Duch (1995) dalam Aris Shoimin (2014:130) mengemukakan bahwa pengertian dari model Problem Based Learning adalah: model pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berfikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan.

Finkle and Torp (1995) dalam Aris Shoimin (2014:130) menyatakan bahwa: PBM merupakan pengembangan kurikulum dan sistem pengajaran yang mengembangkan secara stimulan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan para peserta didik dalam peran aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan baik.

Dua definisi diatas mengandung arti bahwa PBL atau PBM merupakan suasana pembelajaran yang diarahkan oleh suatu permasalahan sehari-hari.

Sedangkan menurut Kamdi (2007:77) berpendapat bahwa: Model Problem Based Learning diartikan sebagai sebuah model pembelajaran yang didalamnya melibatkan siswa untuk berusaha memecahkan masalah dengan melalui beberapa tahap metode ilmiah sehingga siswa diharapkan mampu mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan masalah tersebut dan sekaligus siswa diharapkan akan memilki keterampilan dalam memecahkan masalah.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning menjadi sebuah pendekatan pembelajaran yang berusaha menerapkan masalah yang terjadi dalam dunia nyata sebagai sebuah konteks bagi para siswa dalam berlatih bagaimana cara berfikir kritis dan mendapatkan keterampilan dalam pemecahan masalah, serta tak terlupakan untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus konsep yang penting dari materi ajar yang dibicarakan

B. Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah Atau Problem Based Learning (PBL)

Karakteristik Problem Based Learning PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Belajar dimulai dengan satu masalah,

2. Memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa,

3. Mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu,

4. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri,

5. Menggunakan kelompok kecil,

6. Menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja.

C. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah Atau Problem Based Learning (PBL)

Adapun langkah-langkah model pembelajarannya berbasis masalah adalah sebagai berikut.

1.     Menjelaskan orientasi permasalahan pada peserta didik

Pada tahap ini guru akan memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran serta proses agar peserta didik termotivasi untuk belajar.

2.     Mengorganisasi peserta didik dalam belajar

Pada tahap ini, guru mengorganisir tugas yang akan diberikan pada peserta didik, misalnya penentuan topik, prosedur tugas, dan sebagainya.

3.     Memberikan bimbingan pada individu maupun kelompok

Guru membimbing peserta didik agar mereka bisa mendapatkan sumber atau referensi yang sesuai untuk permasalahan yang ditugaskan.

4.     Mengembangkan dan menyajikan hasil karya peserta didik

Pada tahap ini, peserta didik akan dibantu oleh guru dalam mempersiapkan hasil yang akan dilaporkan, misalnya laporan, dokumentasi, rekaman, serta teori pendukung lainnya.

5.     Melakukan analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah

Guru meminta peserta didik untuk merefleksi dan mengevaluasi hasil yang diperoleh, baik dari sisi proses maupun metode.

D. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Atau Problem Based Learning (PBL)

Kelebihan problem based learning.

1. Peserta didik dilatih untuk selalu berpikir kritis dan terampil dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

2. Bisa memicu peningkatan aktivitas peserta didik di kelas.

3. Peserta didik terbiasa untuk belajar dari sumber yang relevan.

4. Kegiatan pembelajaran berjalan lebih kondusif dan efektif karena peserta didiknya dituntut untuk aktif.

Kekurangan problem based learning

1. Tidak semua materi pembelajaran bisa menerapkan model ini.

2. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan materi pembelajaran lebih lama.

3. Bagi peserta didik yang belum terbiasa menganalisis suatu permasalahan, biasanya enggan untuk mengerjakannya.

4. Jika jumlah peserta didik dalam satu kelas terlalu banyak, guru akan kesulitan untuk mengondisikan penugasan.